Selamat Datang di Kawasan Penyair Nusantara : ACEHBANGKA BELITUNG BALIBANTENJAKARTAJAMBIJABAR JATENG JATIMKALSEL - KALBAR KALTENG - KALTIMKEP.RIAU - LAMPUNG - MADURAMALUKUNTB – NTTPAPUASULBARSULSELSULTENGSULTENGGARASULUTSUMBAR SUMSEL = SUMUTYOGYAMALAYSIASINGAPURABRUNEI THAILANDTAIWAN : Terima Kasih Kunjungan Anda

Rabu, 29 Desember 2010

CATATAN DI HULU SUNGAI BATANGHARI



oleh Dimas Arika Mihardja

Seperti Naga dari Selatan, Jambi menggeliat dengan pembangunan pesat di bidang investasi dan perdagangan, sehingga mall, mini market, plaza, hingga hipermarket berdiri menghiasi gambaran metropolis.Sebagai fenomena, kita catat bahwa masyarakat Jambi memasuki tahap perkembangan yang disebut post tradisional society. Selanjutnya klik disini...

Minggu, 26 Desember 2010

SURAT SASTRA BUAT BUNG DJAZLAM ZAINAL DI MALAYSIA



oleh Dimas Arika Mihardja

Salam sastra,
Indonesia dan Malaysia berjalin-berkelindan melalui bahasa puak Melayu. Melalui bahasa dan karakter budaya Melayu ini kita lantas menjalin silaturahmi bungahati, saling mengkritisi dan mengungkapkan kesejatian diri. Melalui surat sastra ini kukabarkan bahwa keberagaman budaya kita bisa senantiasa direntang-panjangkan menyeberangi selat Malaka. Selanjutnya klik disini...

Minggu, 05 Desember 2010

NARASI AYAT BATU ARSYAD INDRADI


Oleh: HE. Benyamine

Membaca puisi “Narasi Ayat Batu” karya Arsyad Indradi yang merupakan puisi pembuka dalam antologi Narasi Penyair Gila (2006), terasa ada suatu perenungan tentang manusia yang bisa begitu tertutup dari petunjuk seakan bagai batu. Namun, biarpun bagai batu yang keras dan padat, manusia selalu punya kesempatan untuk tidak seperti batu dalam menerima hidayah dan petunjukkan. Batu yang keras, masih bisa berlobang oleh tetes demi tetes air, yang menandakan bahwa sekeras apapun hati manusia tertutup terhadap petunjukkan kebenaran, pada saatnya akan terbuka dan sadar. Hanya kepada Allah segalanya kembali, dan manusia kembali dengan apa yang diusahakannya di dunia ini. Mencoba mencerna puisi Arsyad Indradi di bawah ini dengan pandangan sederhana, semoga tidak mengurangi pemaknaan yang sebenarnya.

Kubelah ayatayat batumu di kulminasi bukit
Yang terhampar di sajadahku
Kujatuhkan di tebingtebing lautmu
Cuma gemuruh ombak dalam takbirku

Dengan pengulangan kata ayat; petunjuk lebih dari satu, dan kata ayat bukan milik dirinya yang diberi keterangan batu untuk menekankan sesuatu yang keras dan padat, namun demikian telah “Kubelah” ayat-ayat tersebut di kulminasi bukit. Sekeras dan sepadat batu sekalipun tetap “Kubelah” ayat-ayat tersebut, perbuatan yang teguh dan sungguh-sungguh dalam pencarian makna. Kulminasi bukit menggambarkan suatu pendakian dan perjalanan yang jauh, untuk menyatakan keteguhan dan keuletan dalam mengarungi kehidupan sebagaimana pendakian hingga puncak bukit.
Untuk menyatakan bahwa “ayatayat batumu” yang disebandingkan dengan ayat-ayat Allah yang sukar dicerna ataupun sulit unt
uk diamalkan, tentu kurang tepat karena sudah “Kubelah” yang menunjukkan tidak ada kesukaran dan kesulitan dalam perbuatan itu. Hal ini menunjukkan suatu pemahaman bahwa ayat-ayat Allah yang diturunkan sebagai petunjuk manusia sudah tentu dapat dipahami dan diamalkan oleh manusia.
Memperhatikan “sajadahku dan takbirku” dan “batumu dan lautmu”, seakan ingin menunjukkan adanya jarak antara aku dan kamu yang terkadang sangat dekat dan juga terkadang sangat jauh. Mungkin “ayatayat batumu” lebih dekat sebagai simbol diri sendiri, sebagai manusia yang juga ayat Allah, yang ada pada saat tertentu (dan tertutup hatinya) akan menjadi lebih keras dari batu, yang merujuk pada manusia dengan hati membatu yang juga milik sang pencipta. Hal ini terlihat dengan jelas pada “terhampar di sajadahku” sebagai saat yang bisa membelah kekerasan hati , lalu dengan sadar menjatuhkan apa saja yang menjadi sebab kerasnya hati bagai batu tersebut, sebagai kesadaran betapa kecilnya diri ini.
Meskipun sudah “Kubelah” diriku dan membersihkan hati, masih harus terus menjaganya, karena masih terdengar “Cuma gemuruh ombak” yang menggema dalam takbir, yang menandakan betapa kerasnya hati yang menjadi batu. Ibarat cermin, hati harus terus dibersihkan setiap saat.

Angin mana di gurungurunmu beribu kafilah
Dan beribu unta yang tersesat di tepitepi hutanmu
Dan bersafsaf di oasis bumimu yang letih

Dalam bait ini jelas menunjuk pada betapa luasnya kekuasaan pemilik segalanya, “gurungurunmu, hutanmu, dan bumimu” yang sekaligus sebagai tanda kebesaran Nya. Manusia sering lalai dan sombong, meskipun sudah ada berita dan petunjuk (angin) yang diberikan pada “beribu kafilah” yang seharusnya dapat menjadi pelajaran dan petunjuk, tetap saja sebagian manusia tertutup hatinya dan keras bagai batu atas cahaya kebenaran. Terasa sekali di sini, manusia mudah tersesat dalam memilih jalan, dan jika sudah tersesat maka manusia seperti orang yang kehausan (oasis) yang tidak peduli lagi dengan bumi yang letih karena hausnya kerakusan.

Kuseru namamu tak hentihenti
Di ruasruas jari tanganku
Yang gemetar dan berdarah
Tumpahlah semesta langit
Di mata anak Adam yang sujud di kakimu

Manusia sebagai “ayatayat batumu”, sebagai diri yang mendapat petunjuk dan kabar berita (angin) namun terkadang tak menghiraukan, seperti mendapat pembenaran dengan “Kuseru namamu tak hentihenti” dengan memanjatkan do’a hingga “gemetar dan berdarah” seakan ingin meruntuhkan semesta langit, suatu perjuangan yang luar biasa untuk mendapatkan hidayah pemilik segalanya.
Puisi ini menggambar betapa manusia yang merupakan bagian dari ayat Allah, yang bisa terjerumus dalam kesesatan yang membuatnya terus menjadi rakus dengan hati membatu, meski berbagai petunjuk dan kabar berita telah diberikan Allah. Dalam puisi ini, “Di mata anak Adam yang sujud di kakimu”, memberikan kesan bahwa manusia “ayatayat batu” merupakan kisah yang harus menjadi peringatan dan sekaligus petunjuk bagi anak-anak Adam; yang sujud dalam kebersihan hati.***

Senin, 08 November 2010

KOMUNITAS SASTRA DI INDONESIA: TUMBUH BAK CENDAWAN, SIRNA LAKSANA ASAP


Iwan Gunadi

Seorang dosen di Fakultas Sastra Universitas Indonesia heran ketika berkunjung ke Universitas Leiden, Belanda, beberapa tahun lalu. Ia heran bukan lantaran koleksi karya-karya sastra lama Indonesia di sana jauh lebih lengkap ketimbang di negerinya. Banyak kalangan, terutama para akademisi, sudah lama memafhuminya. Kolonialisme, inilah yang kemudian sering muncul sebagai tumbal argumentasi.Selanjutnya klik disini

Kamis, 04 November 2010

Menikmati Puisi Dunia Maya (bagian 9)


Oleh: Hamberan Syahbana

Pada waktu kita membaca judul essei ini pertanyaan-pertanyaan yang timbul di benak kita adalah: (1) Apakah puisi bisa dinikmati? (2) Bagaimana mungkin kita bisa menikmati sebuah puisi? (3) Bukankah puisi itu karya sastra yang tersulit dipahami? (4) Mungkinkah kita bisa menikmati puisi, sementara informasi yang disajikan teramat sedikit? Jawaban untuk semua pertanyaan tsb adalah: Bisa! Mengapa tidak! Kita pasti bisa menikmati puisi. Tentu ada caranya. Selanjutnya klik disini

MEMASUKI "LABIRIN SAJAK-SAJAK" TENGSOE TJAHJONO


Catatan Dimas Arika Mihardja

Salam Mempelai: dari Labirin keLabirin
Penyair TengsoeTjahjono (Surabaya) menjelang malam 17 Agustus 2010 mengirimkan draft kumpulan sajak "Salam Mempelai" melalui email. Draft buku ini dibagi ke dalam tiga subjudul, yakni Labirin Mataangin, Labirin Perjalanan, dan Labirin Kabut. Masing-masing subjudul, merangkum sejumlah sajak yang jumlahnya mencapai puluhan sajak. Kesan dan komentar pertama yang muncul dari pembacaan awal ialah ungkapan keakraban khas antarsahabat: "uedan tenan", "diancuk". Ungkapan keakraban ini menunjukkan keterperangahan saya saat mengetahui bahwa sebagian besar sajak yang ada, pertama-tama dipublikasikan melalui situs jejaring social facebook. Hal kedua yang membuat saya terperangah ialah Tengsoe Tjahjono menulis dan mempublikasikan sajak-sajaknya setiap hari! Hal yang lebih gila lagi, dengan cengegesan ia bilang melalui inbox saya, "Selamat memasuki labirin puisi-puisi saya." Selanjutnya klik disini

Minggu, 31 Oktober 2010

BELAJAR DARI KOMUNITAS SASTRA DUNIA


oleh Iwan Gunadi

JANGAN pernah memastikan bahwa kehadiran komunitas sastra di Indonesia yang marak sejak 1980-an merupakan suatu fenomena yang khas di dunia. Di belahan dunia lain, hal yang sama juga terjadi.
Meski aktivitas kreatif dalam kesenian, termasuk kesusastraan, umumnya masih dilakukan secara individual alias soliter, sebagai makhluk sosial, pelakunya, yakni seniman atau pekerja seni, termasuk sastrawan atau pekerja sastra; tetap butuh bersosialisasi dalam kelompok yang memiliki kesamaan cita-cita.Selanjutnya klik disini

Jumat, 29 Oktober 2010

PUISI: SAKSI YANG SEKSI



Oleh : Dimas Arika Mihardja

ESAI RINGAN ini bukanlah merupakan kredo penyair, melainkan saya pandang sebagai refleksi perjalanan 25-an tahun karir saya menceburkan diri dalam penulisan kreatif puisi. Esai ini saya maksudkan sebagai pengantar sebuah buku yang insya-Allah diterbitkan untuk menandai ulang tahun saya yang ke-52. Seperti ulang tahun sebelumnya, selalu saya siapkan bingkisan kecil untuk diri pribadi. Kali ini saya menyiapkan paket khusus yang saya beri tajuk “SAJAK EMAS: 200 puisi seksi Dimas Arika Mihardja” Saya juga sedang menyiapkan terbitnya buku khusus “SENJA DI BATAS KATA” (Antologi sajak dari sahabat penyair Indonesia yang telah dikirimkan kepada saya sebagai penanda ultah ke-51 tahun). Selanjutnya klik disini

Kamis, 28 Oktober 2010

FENOMENA SASTRA INDONESIA MUTAKHIR: KOMUNITAS DAN MEDIA

Oleh: Nanang Suryadi

Komunitas Sastra
Meneropong sastra Indonesia mutakhir, tidak cukup hanya berbicara perkembangan satu dua tahun terakhir. Walaupun mungkin selama setahun dua tahun terakhir ada suatu perkembangan hebat yang terjadi. Fenomena komunitas sastra, misalnya, sebenarnya bukan merupakan hal yang baru di jagad sastra Indonesia. Lebih dari sepuluh tahun lalu Komunitas Sastra Indonesia sudah mengidentifikasi berbagai komunitas sastra (seni dan budaya) yang ada di tanah air. Komunitas Sastra Indonesia memberikan definisi komunitas sastra sebagai: selanjutnya klik disini

Jumat, 22 Oktober 2010

Menikmati Puisi Dunia Maya bagian 8

oleh Hamberan Syahbana

Menikmati sebuah puisi sama saja dengan menikmati hidangan santapan 4 sehat 5 sempurna. Tentu sesuai dengan selera masing-masing. Ada yang suka masakan berkuah, ada yang suka dengan lalapan plus sambal pedasnya. Seleranya pun macam-macam. Ada yang suka rasa asin, suka rasa manis, ada yang suka rasa asam, bahkan ada yang suka rasa pahit. Demikian pula dengan puisi. Ada beberapa jenis puisi [1] Romansa yang berisi luapan perasaan cinta kasih dan sayang, [2] Elegi yang berisi ratapan duka jeritan nestapa bahkan tangisan kesedihan, [3] Satire yang berisi sindiran dan kritik sosial, [4] Balada yang berisi kisah orang-orang perkasa, [5] Himne yang berisi pujian untuk Tuhan, tanah air dan para pahlawan, [6] Ode yang berisi sanjungan untuk orang yang berjasa, [6] Epigram yang berisi tuntunan ajaran hidup dan kehidupan Selanjutnya klik disini...

Kamis, 21 Oktober 2010

TADARUS PUISI 2010: PENYAIR ARSYAD INDRADI BERBAGI MAKNA



Oleh: HE. Benyamine

Arsyad Indradi (Status Facebook, 10/7/10): Terserahlah Banjarbaru ini mau jadi apa. Tapi yang kusesalkan adalah burung-burung bebas yang berkicau di samping rumahku telah lama sunyi dan bunga karamunting yang tumbuh alami yang kucium setiap pagi dan sore telah berganti rupa. Sesungguhnya sejak puluhan tahun telah kutanam cinta di jantung Banjarbaru, kini aku menatap langit, cemas akan cintaku.
Kota Banjarbaru terbayang gemerlap kata pada malam Minggu (21/8/2010), saat taburan kata (kapita selekta) yang diambil dari Si Penyair Gila bertaburan bersanding bintang menghiasi langit malam yang juga dilengkapi para penyair lainnya dengan galuh-galuh (intan) kata mereka yang juga memancarkan sinar terangnya. Pada penyelenggaraan Tadarus Puisi dan Silaturahmi Sastra VII Tahun 2010 yang digagas Dewan Kesenian Kota Banjarbaru yang pada tahun ini memilih tema Selecta Kapita Kepanyairan Arsyad Indradi (Si Penyair Gila) yang sekaligus Penganugerahan Penghargaan kepada beliau (Radar Banjarmasin, 8 Agustus 2010: 5). Selanjutnya klik disini

JELANG IKUT TEMU SASTRAWAN INDONESIA III DI TANJUNGPINANG



Oleh: Dimas Arika Mihardja

JELANG perhelatan Temu Sastrawan III di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, saya ingin sedikit memberikan gambaran sebagai referensi bagi peserta dan sekadar informasi bagi masyarakat facebookers. Sekadar catatan kecil, ide awal pelaksanaan Temu Sastrawan Indonesia (TSI I) bertolak dan dilaksanakan di Jambi 7-10 Juli 2008. Lalu TSI II dihelat di Bangka Belitung (2009), dan TSI III akan dilaksanakan di Tanjungpinang 28-31 Oktober 2010. Berikut ini saya kemukakan lagi Dasar Pemikiran TSI I di Jambi yang sukses dilaksanakan 7-10 Juli 2008. Selanjutnya klik disini

Selasa, 19 Oktober 2010

DUNIA KITA, DUNIA KATA, PANGGUNG WACANA: MENYELAMATKAN EKOLOGI SASTRA


Oleh: Dimas Arika Mihardja

EKOLOGI sastra adalah lingkungan (situasi dan kondisi) yang turut terlibat di panggung wacana. Di dunia kita, dunia kata (sastra) dihuni oleh sastrawan selaku kreator, pembaca selaku konsumen, dan pihak-pihak lain yang turut menentukan keberadaan sastra. Dalam gejolak ekonomi, politik, sosial dan budaya seburuk apapun tidak menghalangi pelahiran dan kelahiran sastra. Tidak ada pihak mana pun yang kuasa menghalangi pelahiran dan kelahiran sastra. Sastra bisa lahir di manapun dan dalam kondisi apapun sebab sejatinya sastrawan selalu bergumul dengan daya kreativitasnya untuk berkarya. Selanjutnya klik

Selasa, 12 Oktober 2010

Menikmati Puisi Dunia Maya (bagian 4)



Oleh : Hamberan Syahbana

Puisi adalah karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan emotif, melalui proses perenungan imajinasi dengan menggunakan bahasa estetik, hemat, padat dan berisi, melalui penataan unsur bunyi, irama, dan makna khusus.
Aspek yang paling menonjol dalam sebuah puisi adalah pemilihan kata atau diksi. Kata yang dipilih biasanya padat, berisi, indah, memukau, penuh pesona dan ungkapan berkias. Diksi atau pemilihan kata tsb mampu meningkatkan rasa dan nilai sebuah puisi, karena biasanya kata-kata yang digunakan: lanjut klik disini

Senin, 11 Oktober 2010

Menikmati Puisi Dunia Maya. (Bagian 7)

Oleh : Hamberan Syahbana

Puisi adalah karya sastra yang tersulit dipahami pembacanya, dibanding dengan cerpen atau novel. Karena informasi yang disajikan dalam sebuah puisi tidak selengkap yang ada pada cerpen dan novel. Untain larik-lariknya juga lebih banyak menyajikan bahasa-bahasa ungkapan yang masih memerlukan penafsiran khusus. Rangkaian kata-kata yang tersaji pada umumnya bersifat ambiguitas yakni mengandung banyak makna. Dan penafsirannya juga bisa melebar ke mana-mana. Selanjutnya klik disini

Minggu, 10 Oktober 2010

Menikmati Puisi Dunia Maya (bagian 6)

Oleh : Hamberan Syahbana

Menikmati puisi berarti kita menikmati sebuah karya hasil imajinansi pengarang yang mengungkapkan pikiran dan perasaannya melalui sebuah puisi. Puisi yang bisa dinikmati tentunya puisi yang dapat menimbulkan rasa suka. Rasa suka setiap orang itu sifatnya relatif. Ada yang suka karena untaian kata-kata yang indah. Ada yang suka dengan pengulangan bunyi dan pengulangan larik-lariknya. Ada juga yang suka dengan tema dan pesan moral yang terkandung di dalamnya. Cilakanya kalau orang tidak suka, maka puisi itu tidak akan dibacanya lagi dan langsung ditutup. Bagaimana bisa menikmatinya?
Selanjutnya klik disini

SAYA SUDAH TENANG KARENA ANAK-ANAKKU TELAH SALAT SEMUA

oleh Syaifuddin Gani

Kisah Kedua Puluh Sembilan
Judul di atas adalah pernyataan Ayah saya lebih lima belas tahun silam. Hal itu dikatakannnya di kampung, ketika kami, anak-anaknya, akan kembali lagi ke kota rantauan. Salat adalah kewajiban mutlak yang selalu diingatkan Ayah kepada kami anak-anaknya. Ayah merasa berdosa dan gagal jika salat saja tidak ditegakkan oleh kami.
Pesan Ayah itulah yang sampai kini terus kuingat, sehingga ketika akan meninggalkan salat atau pernah meninggalkan salat, saya langsung mengingat yang namanya dosa. Saya langsung merasa telah menciptakan dosa buat Ayah. Bukankah Ayah telah merasa tunai sudah kewajibannya kepada Allah di dalam memerintahkan anak-anaknya untuk selalu mendirikan salat? Selanjutnya klik