Oleh: HE. Benyamine
Membaca puisi “Narasi Ayat Batu” karya Arsyad Indradi yang merupakan puisi pembuka dalam antologi Narasi Penyair Gila (2006), terasa ada suatu perenungan tentang manusia yang bisa begitu tertutup dari petunjuk seakan bagai batu. Namun, biarpun bagai batu yang keras dan padat, manusia selalu punya kesempatan untuk tidak seperti batu dalam menerima hidayah dan petunjukkan. Batu yang keras, masih bisa berlobang oleh tetes demi tetes air, yang menandakan bahwa sekeras apapun hati manusia tertutup terhadap petunjukkan kebenaran, pada saatnya akan terbuka dan sadar. Hanya kepada Allah segalanya kembali, dan manusia kembali dengan apa yang diusahakannya di dunia ini. Mencoba mencerna puisi Arsyad Indradi di bawah ini dengan pandangan sederhana, semoga tidak mengurangi pemaknaan yang sebenarnya.
Kubelah ayatayat batumu di kulminasi bukit
Yang terhampar di sajadahku
Kujatuhkan di tebingtebing lautmu
Cuma gemuruh ombak dalam takbirku
Dengan pengulangan kata ayat; petunjuk lebih dari satu, dan kata ayat bukan milik dirinya yang diberi keterangan batu untuk menekankan sesuatu yang keras dan padat, namun demikian telah “Kubelah” ayat-ayat tersebut di kulminasi bukit. Sekeras dan sepadat batu sekalipun tetap “Kubelah” ayat-ayat tersebut, perbuatan yang teguh dan sungguh-sungguh dalam pencarian makna. Kulminasi bukit menggambarkan suatu pendakian dan perjalanan yang jauh, untuk menyatakan keteguhan dan keuletan dalam mengarungi kehidupan sebagaimana pendakian hingga puncak bukit.
Untuk menyatakan bahwa “ayatayat batumu” yang disebandingkan dengan ayat-ayat Allah yang sukar dicerna ataupun sulit unt
uk diamalkan, tentu kurang tepat karena sudah “Kubelah” yang menunjukkan tidak ada kesukaran dan kesulitan dalam perbuatan itu. Hal ini menunjukkan suatu pemahaman bahwa ayat-ayat Allah yang diturunkan sebagai petunjuk manusia sudah tentu dapat dipahami dan diamalkan oleh manusia.
Memperhatikan “sajadahku dan takbirku” dan “batumu dan lautmu”, seakan ingin menunjukkan adanya jarak antara aku dan kamu yang terkadang sangat dekat dan juga terkadang sangat jauh. Mungkin “ayatayat batumu” lebih dekat sebagai simbol diri sendiri, sebagai manusia yang juga ayat Allah, yang ada pada saat tertentu (dan tertutup hatinya) akan menjadi lebih keras dari batu, yang merujuk pada manusia dengan hati membatu yang juga milik sang pencipta. Hal ini terlihat dengan jelas pada “terhampar di sajadahku” sebagai saat yang bisa membelah kekerasan hati , lalu dengan sadar menjatuhkan apa saja yang menjadi sebab kerasnya hati bagai batu tersebut, sebagai kesadaran betapa kecilnya diri ini.
Meskipun sudah “Kubelah” diriku dan membersihkan hati, masih harus terus menjaganya, karena masih terdengar “Cuma gemuruh ombak” yang menggema dalam takbir, yang menandakan betapa kerasnya hati yang menjadi batu. Ibarat cermin, hati harus terus dibersihkan setiap saat.
Angin mana di gurungurunmu beribu kafilah
Dan beribu unta yang tersesat di tepitepi hutanmu
Dan bersafsaf di oasis bumimu yang letih
Dalam bait ini jelas menunjuk pada betapa luasnya kekuasaan pemilik segalanya, “gurungurunmu, hutanmu, dan bumimu” yang sekaligus sebagai tanda kebesaran Nya. Manusia sering lalai dan sombong, meskipun sudah ada berita dan petunjuk (angin) yang diberikan pada “beribu kafilah” yang seharusnya dapat menjadi pelajaran dan petunjuk, tetap saja sebagian manusia tertutup hatinya dan keras bagai batu atas cahaya kebenaran. Terasa sekali di sini, manusia mudah tersesat dalam memilih jalan, dan jika sudah tersesat maka manusia seperti orang yang kehausan (oasis) yang tidak peduli lagi dengan bumi yang letih karena hausnya kerakusan.
Kuseru namamu tak hentihenti
Di ruasruas jari tanganku
Yang gemetar dan berdarah
Tumpahlah semesta langit
Di mata anak Adam yang sujud di kakimu
Manusia sebagai “ayatayat batumu”, sebagai diri yang mendapat petunjuk dan kabar berita (angin) namun terkadang tak menghiraukan, seperti mendapat pembenaran dengan “Kuseru namamu tak hentihenti” dengan memanjatkan do’a hingga “gemetar dan berdarah” seakan ingin meruntuhkan semesta langit, suatu perjuangan yang luar biasa untuk mendapatkan hidayah pemilik segalanya.
Puisi ini menggambar betapa manusia yang merupakan bagian dari ayat Allah, yang bisa terjerumus dalam kesesatan yang membuatnya terus menjadi rakus dengan hati membatu, meski berbagai petunjuk dan kabar berita telah diberikan Allah. Dalam puisi ini, “Di mata anak Adam yang sujud di kakimu”, memberikan kesan bahwa manusia “ayatayat batu” merupakan kisah yang harus menjadi peringatan dan sekaligus petunjuk bagi anak-anak Adam; yang sujud dalam kebersihan hati.***
Kubelah ayatayat batumu di kulminasi bukit
Yang terhampar di sajadahku
Kujatuhkan di tebingtebing lautmu
Cuma gemuruh ombak dalam takbirku
Dengan pengulangan kata ayat; petunjuk lebih dari satu, dan kata ayat bukan milik dirinya yang diberi keterangan batu untuk menekankan sesuatu yang keras dan padat, namun demikian telah “Kubelah” ayat-ayat tersebut di kulminasi bukit. Sekeras dan sepadat batu sekalipun tetap “Kubelah” ayat-ayat tersebut, perbuatan yang teguh dan sungguh-sungguh dalam pencarian makna. Kulminasi bukit menggambarkan suatu pendakian dan perjalanan yang jauh, untuk menyatakan keteguhan dan keuletan dalam mengarungi kehidupan sebagaimana pendakian hingga puncak bukit.
Untuk menyatakan bahwa “ayatayat batumu” yang disebandingkan dengan ayat-ayat Allah yang sukar dicerna ataupun sulit unt
uk diamalkan, tentu kurang tepat karena sudah “Kubelah” yang menunjukkan tidak ada kesukaran dan kesulitan dalam perbuatan itu. Hal ini menunjukkan suatu pemahaman bahwa ayat-ayat Allah yang diturunkan sebagai petunjuk manusia sudah tentu dapat dipahami dan diamalkan oleh manusia.
Memperhatikan “sajadahku dan takbirku” dan “batumu dan lautmu”, seakan ingin menunjukkan adanya jarak antara aku dan kamu yang terkadang sangat dekat dan juga terkadang sangat jauh. Mungkin “ayatayat batumu” lebih dekat sebagai simbol diri sendiri, sebagai manusia yang juga ayat Allah, yang ada pada saat tertentu (dan tertutup hatinya) akan menjadi lebih keras dari batu, yang merujuk pada manusia dengan hati membatu yang juga milik sang pencipta. Hal ini terlihat dengan jelas pada “terhampar di sajadahku” sebagai saat yang bisa membelah kekerasan hati , lalu dengan sadar menjatuhkan apa saja yang menjadi sebab kerasnya hati bagai batu tersebut, sebagai kesadaran betapa kecilnya diri ini.
Meskipun sudah “Kubelah” diriku dan membersihkan hati, masih harus terus menjaganya, karena masih terdengar “Cuma gemuruh ombak” yang menggema dalam takbir, yang menandakan betapa kerasnya hati yang menjadi batu. Ibarat cermin, hati harus terus dibersihkan setiap saat.
Angin mana di gurungurunmu beribu kafilah
Dan beribu unta yang tersesat di tepitepi hutanmu
Dan bersafsaf di oasis bumimu yang letih
Dalam bait ini jelas menunjuk pada betapa luasnya kekuasaan pemilik segalanya, “gurungurunmu, hutanmu, dan bumimu” yang sekaligus sebagai tanda kebesaran Nya. Manusia sering lalai dan sombong, meskipun sudah ada berita dan petunjuk (angin) yang diberikan pada “beribu kafilah” yang seharusnya dapat menjadi pelajaran dan petunjuk, tetap saja sebagian manusia tertutup hatinya dan keras bagai batu atas cahaya kebenaran. Terasa sekali di sini, manusia mudah tersesat dalam memilih jalan, dan jika sudah tersesat maka manusia seperti orang yang kehausan (oasis) yang tidak peduli lagi dengan bumi yang letih karena hausnya kerakusan.
Kuseru namamu tak hentihenti
Di ruasruas jari tanganku
Yang gemetar dan berdarah
Tumpahlah semesta langit
Di mata anak Adam yang sujud di kakimu
Manusia sebagai “ayatayat batumu”, sebagai diri yang mendapat petunjuk dan kabar berita (angin) namun terkadang tak menghiraukan, seperti mendapat pembenaran dengan “Kuseru namamu tak hentihenti” dengan memanjatkan do’a hingga “gemetar dan berdarah” seakan ingin meruntuhkan semesta langit, suatu perjuangan yang luar biasa untuk mendapatkan hidayah pemilik segalanya.
Puisi ini menggambar betapa manusia yang merupakan bagian dari ayat Allah, yang bisa terjerumus dalam kesesatan yang membuatnya terus menjadi rakus dengan hati membatu, meski berbagai petunjuk dan kabar berita telah diberikan Allah. Dalam puisi ini, “Di mata anak Adam yang sujud di kakimu”, memberikan kesan bahwa manusia “ayatayat batu” merupakan kisah yang harus menjadi peringatan dan sekaligus petunjuk bagi anak-anak Adam; yang sujud dalam kebersihan hati.***